Cantik itu Tidak Akan Pernah Relatif

Seringkali dalam sebuah perjumpaan ataupun obrolan dengan kolega, saya mendapati diktum “cantik itu relatif” karena menurut sebagian pihak cinta memang tak bertaraf. Kecantikan diposisikan nisbi, abstrak dan tidak riil. Namun lama kelamaan, anggapan tersebut menemui jalan buntu. Berangkat dari tesis bahwa semua yang mengada di dunia ini sejatinya sudah dikonstrusikan dan dibuat sedemikian rupa, termasuk juga kecantikan.

Secara tidak sadar, kita mempercayai bahwa kecantikan adalah sesuatu yang terberikan secara alamiah. Sama seperti bakat, kecantikan adalah pemberian dari Tuhan kepada makhluk-Nya tanpa bisa diganggu gugat. Namun jika kita mengkaji ulang, kecantikan sekarang ini tak ubahnya seperti sebuah proses, sebuah tujuan yang diinginkan setiap perempuan.

Maka tak heran sekarang perempuan cantik sudah banyak sekali jumlahnya, karena memang kecantikan itu adalah sebuah tujuan bersama – khususnya pihak perempuan. Dengan mengkonsumsi ritual-ritual kecantikan secara berkala, niscaya kecantikan akan datang menghampiri sang perempuan.

Sejauh ini, kita sampai pada pemahaman bahwa kecantikan dewasa ini merupakan suatu tujuan, sekaligus mengindikasikan bahwa kecantikan bisa diusahakan dengan memakai beragam produk kecantikan. Namun fakta nya, selain sebagai tujuan, kecantikan juga bisa dikonstruksikan. Dalam artian bahwa, kecantikan bisa disesuaikan dengan selera yang bergantung pada kepentingan penguasa atau setidak-tidaknya wacana yang disetujui masyarakat.

Kecantikan adalah sebuah kapital, yang dalam beberapa kesempatan mampu menghasilkan keuntungan bagi sepasang individu maupun segelintir kelompok. Sadar akan potensi tersebut, dahulu dan hingga kini kecantikan memiliki standar baku tertentu demi terlaksana nya kehendak penguasa dan keinginan masyarakat ketika.

Artikel ini berusaha memaparkan sejarah panjang standar ideal kecantikan dari beberapa jaman sekaligus memperlihatkan bagaimana kecantikan dieksploitasi untuk beberapa kepentingan yang sama sekali tidak bersinggungan sebelumnya. Sekaligus mematahkan bahwa kecantikan tidaklah relatif seperti yang diyakini sebagian pihak, melainkan direncanakan dan dikonstruksikan.

Ketika nama Indonesia masih menjadi angan-angan para founding fathers kita, negeri ini sudah memperlakukan ideal kecantikan. Ketika itu, Indonesia masih menjadi wilayah independen dengan pemerintahan swapraja yang jamak sekali jumlahnya. Ada beberapa kerajaan mulai dari masa awal Hindu dan Budha hingga kemudian Islam menyusul masuk, ideal kecantikan turut mengiringi proses sirkulasi tersebut.

Masuknya ajaran Hindu dan Budha ke Indonesia terutama dalam perspektif agama, juga memberikan dorongan bagi masuknya nilai-nilai masyarakat India ketika itu yang dipadupadankan dengan kearifan lokal setempat. Salah satu sirkulasi nilai yang masuk tersebut adalah standar ideal kecantikan perempuan.

Dalam masyarakat pra-kolonial ketika itu, perempuan berkulit terang sudah menjadi wacana yang beredar dalam masyarakat. Proses distribusi ideal kecantikan tersebut biasanya dapat dijumpai dalam karya sastrawi seperti pupuh dan kakawin. Perempuan dengan kulit terang sudah dipastikan mendapat predikat sebagai perempuan yang berhasil menjadi cantik.

Penyebaran ideal kecantikan pra-kolonial tersebut tak bisa dilepaskan dari sumbangsih sastra, dimana tutur bahasa dengan segala metafora nya berhasil sebagai afirmasi ideal kecantikan. Sebagai contoh, dalam karya sastra, kulit terang perempuan dianalogikan dengan bulan yang berguna untuk mengusir kegelapan.

Bagi setiap perempuan ketika itu, berkulit terang adalah sesuatu yang diinginkan karena bisa dengan mudah dikategorikan sebagai perempuan cantik, sedangkan warna kulit yang gelap sebagai sesuatu yang dihindari karena mendapatkan stigma sebagai sarang kesengsaraan. Pada masa itu, standar ideal kecantikan ditentukan melalui warna kulit yang masih dipisahkan dengan ras ataupun negara-bangsa.

Di alaf pra-kolonial, standar kecantikan masih terlalu “gampang” untuk dilacak karena hanya mematok syarat berkulit terang, tidak pernah mau ambil perduli tentang ras dan negara-bangsa nya. Berbeda dengan standar ideal kecantikan kolonial yang lebih komplikatif, entah itu indikator maupun dampak dari ideal kecantikan itu sendiri.

Memasuki masa kolonial, ideal kecantikan semakin rumit. Semakin rumit karena tolak ukur menjadi perempuan cantik tidaklah terpaku pada paras semata, melainkan melibatkan aspek psikologis emosional perempuan itu sendiri. Ini bisa terjadi karena hierarki masyarakat ketika masa kolonial sangatlah ketat dan terstruktur dengan rapi.

Masuknya perempuan-perempuan Eropa tersebut dilandasi akibat kebutuhan biologis para serdadu Belanda yang memang membutuhkan pasangan untuk menyalurkan hasrat seksual nya, ditambah lagi dengan keenganan para serdadu tersebut untuk memelihara gundik atau nyai karena akan melahirkan anak Indo yang berpotensi merusak kemurnian ras Kaukasoid dan melahirkan Belanda miskin.

Invasi perempuan-perempuan Eropa ke Jawa ketika itu tak pelak memberikan corak tersendiri terhadap perjalanan ideal kecantikan di Indonesia, perempuan-perempuan tersebut kini menjadi standar baku bagi siapapun yang ingin dicap sebagai seseorang yang berhasil menjadi cantik. Bola mata berwarna, perawakan yang tegap, kulit putih, serta rambut pirang terurai adalah analogi perempuan cantik di masa kolonial.

Selain secara fisik, standar ideal kecantikan di masa kolonial juga mengacu pada warna kulit dan ras – berbeda dengan masa pra-kolonial yang hanya mengharuskan warna kulit yang terang -, perempuan jika ingin dikatakan cantik harus memiliki warna kulit yang putih serta terang. Tak sampai disitu, warna kulit putih tersebut harus disesuaikan dengan ras, yaitu ras Kaukasoid.

Jadi, standar ideal kecantikan ketika masa kolonial adalah warna kulit putih khas Kaukasoid. Berbeda dengan masa sebelumnya, ketika Belanda berkuasa, standar ideal kecantikan juga diharuskan melibatkan aspek afek guna semakin menunjukan bahwa perempuan harus berbudi pekerti yang arif dan baik.

Para perempuan-perempuan Eropa tersebut diharuskan memiliki sikap yang welas asih, legowo dan sabar dalam menyikapi setiap permasalahan. Pun perempuan Eropa juga wajib menjadi ibu, istri serta pendidik yang baik bagi anak-anaknya. Praktik seperti ini menjadi alat legitimasi cantik ketika masa itu, sehingga kata cantik disini juga harus berarti cerdas.

Perempuan Eropa yang cantik itu juga mendapatkan beberapa keistimewaan terutama dalam permasalahan di tataran hierarki sosial, mulai dari tempat tinggal, hukum hingga pelayanan sosial dibedakan dengan perempuan Timur Asing maupun pribumi. Yang artinya bahwa kecantikan ketika itu mempengaruhi status sosial seseorang, semakin cantik perempuan saat itu berbanding lurus dengan semakin meningkatnya penghormatan dan kedudukan sosial di masyarakat. Maka tak heran, perempuan cantik era kolonial diisi oleh istri para pembesar dan aristokrat setempat.

Sesuai Indonesia resmi menyandang status merdeka, mulailah proses pencarian identitas nasional untuk segala aspek mulai digalakkan. Termasuk dengan ideal kecantikan Indonesia, bagaimanakah cantik Indonesia itu? Tentu tak mudah karena secara masyarakat, Indonesia terdiri dari ribuan etnis yang memiliki perbedaan secara fisik maupun emosional. Tentu sulit untuk menjadikan suatu etnis sebagai perwakilan kecantikan di Indonesia.

Untuk mengatasi keruwetan tersebut, putih Indonesia lebih menguatkan sisi geografis ketimbang mengandalkan salah satu etnis tertentu sebagai representasi kecantikan Indonesia. Contohnya, putih Indonesia digambarkan melalui model dari Sulawesi atau NTT yang secara tidak langsung memperlihatkan bahwa cantik Indonesia adalah alamiah. Ataupun menampilkan model perempuan berbusana tradisional Jawa untuk memperkuat bahwa putih Indonesia ialah murni tradisonal.

Putih Indonesia sebenarnya adalah antitesis dari putih Kaukasoid, putih versi Indonesia merupakan oposisi dari apa yang menjadi ideal kecantikan pada masa kolonial. Ketika putih kolonial lebih menonjolkan sisi budaya Barat seperti modern, maka putih Indonesia menampilkan budaya dan adat ke-Timuran seperti tradisional, mengakar pada budaya dan tentunya natural.

Sama seperti periode sebelumnya, putih Indonesia juga memiliki tentakel yang tak berpusar soal urusan kewanitaan. Pada periode pasca kemerdekaan, putih Indonesia juga dijadikan sebagai alat penanda kebijakan politis. Dalam kurun waktu ini, untuk pertama kalinya kecantikan menjadi politis setelah sebelumnya estetis. Wajah adalah politik adalah ungkapan yang cukup mewakili keterlibatan kecantikan dalam ranah yang berbeda.

Ketika Soekarno masih berkuasa sebagai presiden, kecantikan dijadikan pandangan politik. Soekarno yang sangat anti Amerika melarang segala bentuk produk kecantikan, majalah kecantikan dan iklan kecantikan dari negeri Paman Sam. Sebagai gantinya, ia mengorbitkan model-model pribumi – meskipun tetap mengacu pada putih Kaukasoid – agar lebih menonjolkan putih Indonesia secara ajeg.

Sejarah panjang ideal kecantikan yang membentang dari jaman pra-kolonial hingga pasca reformasi memberikan warna-warna tersendiri dalam wacana dekonstruksi ideal kecantikan, selain itu ideal kecantikan memberikan perlambang bahwa dari dulu hingga sekarang ternyata tubuh perempuan sudah dikendalikan demi kepentingan yang sepenuhnya tidak menguntungkan bagi sang pemilik tubuh. Perempuan diharuskan terlihat seperti ini, memakai produk ini, berperilaku seperti ini agar bisa dikatakan cantik. Kendali perempuan atas tubuhnya sendiri sama sekali tidak terlihat.

Disisi lain, kesimpulan yang dapat ditarik adalah meskipun ada standar-standar tertentu yang dibabak berdasarkan kategori waktu, namun setiap standar ideal kecantikan selalu mengacu kepada putih Kaukasoid. Tercatat hanya putih Kosmopolitan yang mampu menggoyahkan hegemoni putih Kaukasoid dalam percaturan ideal kecantikan.

Serta menggarisbawahi bahwa sebenarnya cantik itu tidak akan pernah bisa relatif, kecantikan selalu dirancang serta dimodifikasi sesuai standar ideal yang berlaku pada waktu itu. Karena pada dasarnya kecantikan memiliki nilai ekonomis yang terbilang tinggi dan struktur dunia ini sangat memberikan apresiasi tinggi terhadap kecantikan. Maka jangan heran jika kecantikan tidak netral dan cenderung tendensius.

NB: Gambar diperoleh dari favim.com

Tinggalkan komentar